ETIK
DAN ESTETIKA DARI PIKIRAN DAN HATI
Refleksi ini
terinspirasi dari Perkuliahan Filsafat Ilmu oleh Bapak Marsigit berupa
jawaban-jawaban dari pertanyaan yang disampaikan oleh mahasiswa Program Pascasarjana
Pendidikan Matematika kelas B. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan beserta
refleksi dari setiap jawaban yang diberikan :
Pertanyaan dari Sdr. Aminullah, S.Pd
:
“Apakah
semua hal yang kita pikirkan atau kita alami harus mampu direfleksikan?”
Suatu sifat itu berdimensi meliputi yang
ada dan yang mungkin ada dan ketika diintensifkan ataupun diekstensifkan kita
tidak dapat menjelaskan seberapa jauh sifat itu sehingga sifat tersebut
dikatakan meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Apalah daya pikiran kita
untuk mengungkapkan semua, itulah yang
kemudian diakui oleh Socrates bahwa “ternyata pada akhirnya aku tidak
mengerti apapun”. Tidak semua hal ataupun sifat yang kita pikirkan bisa kita
refleksikan, Direfleksikan kepada siapa dan dimana, direfleksikan kepada yang
ada dan yang mungkin ada. Hubungan dunia yang satu dengan dunia yang lain
adalah hubungan yang ada dengan yang mungkin ada. Semua yang kita pikirkan boleh
kita refleksikan tetapi harus melihat ruang dan waktunya. Dengan demikian tidak
semua hal yang kita pikirkan bisa direfleksikan karena di batasi oleh ruang dan
waktu. Ruang dan waktunya adalah etik dan estetika. Itulah berfilsafat supaya
kita peduli kepada ruang dan waktu, sopan dan santun terhadap ruang dan waktu.
Pertanyaan dari Sdr.
Daud, S.Pd :
“Kenapa
tingkat teratas itu adalah hati dan apakah batasan dari hati kita?”
Kita boleh memilih apa yang hendak kita
letakkan di tingkat paling atas. Sebagai contohnya kita memilih yang paling
atas adalah wanita cantik. Hal ini berarti apa yang kita pikirkan dan lakukan
semata-mata hanya untuk wanita cantik. Sama halnya dengan hati, hati ditempatkan
yang paling atas karena hati merupakan etik dan estetika dari spiritualitas.
Konsep spiritualitas di Indonesia ditaruh yang paling atas, termuat dalam
pancasila sila pertama “Ke-Tuhanan yang Maha Esa”. Kehidupan dunia sekarang ini
ternyata bukan spiritualitas yang paling tinggi. Karena bukan
spiritualitas maka tren internasional keberadaannya
bukan dalam rangka spiritualitas lagi. Itulah sebabnya mau tidak mau kita harus
konsisten dengan budaya kita, dengan kehidupan kita untuk menempatkan hati di
tingkat yang paling atas.
Pertanyaan Sdri. Tesi
Kumalasari:
“Filsafat
ditulis dalam keadaan jernih. Saat pikiran dan hati kita kacau apakah kita
boleh berfilsafat?”
Ketika pikiran kita mulai kacau
berhentilah untuk berpikir, berdoa dan berzikirlah mohon ampun dan mohon
petunjuk-Nya. Kalau sudah tenang berpikirlah kembali. Kacaunya pikiran adalah
awal dari ilmu. Tetapi jangan biarkan hati kita kacau, karena kacaunya hati adalah
godaan setan. Kekacauan pikiran kita perlu disyukuri katena itu pertanda kita
sedang berpikir. Tapi jangan jadikan kacaunya pikiran kita turut menjadikan
hati kita kacau. Artikel Bapak Marsigit yang berjudul ‘elegi hanya doakulah yang tersisa’ menceritakan bagaimana orang tua
berambut putih mengatasi kekacauan pikiran. Ada dua macam cara mengatasi
kekacauan pikiran yaitu: yang pertama intensifkan dan ekstensifkan kerja
pikiran anda dan yang kedua jangan gunakan lagi pikiran anda,tetapi gunakanlah
hati. Jadi kita perlu bersyukur karena setiap saat kita mendapatkan wahyu,
mendapatkan ilmu kalau kita berkendak. Semuanya tergantung pada diri kita
disaat kita membaca elegi-elegi dan membuat komen. Itu sebenarnya merupakan
proses agar kita bisa mendapatkan wahyu itu. Engkau adalah dewanya sifatmu,
engkau boleh melakukan apapun terhadap bajumu, celananmu, jilbabmu dan lain
sebagainya. Maka subyek adalah dewanya predikat. Subyek adalah dewanya para
sifat. Dirimu yang sekarang adalah dewanya dari dirimu yang tadi. Dan dirimu
yang nanti adalah dewanya dari dirimu yang sekarang.
Pertanyaan dari Sdri. Nunung
Megawati, S.Pd :
“Bagaimana
untuk menggapai pikiran dan hati yang bersih?”
Ada dua hal dalam menggapai pikiran dan
hati yang bersih yaitu: yang pertama, sesuai dengan kodrat dan takdirnya; yang
kedua, mengetahui prinsip-prinsipnya atau teorinya. Prinsip yang dibuat adalah
sehebat-hebat pikiranmu janganlah engkau merasa hebat terhadap hatimu. Salah
satu contohnya adalah kepercayaan kita kepada Tuhan. Hal ini dikarenakan untuk
mengerti Tuhan tidak semata-mata menggunakan pikiran tetapi kita harus
menggunakan hati. Ilmu dalam pikiranmu
itu urusan dunia tetapi sudah masuk ke
dalam yang ahkirat maka ada yang namanya ilmu
di dalam hatimu. Sedangkan untuk pikiran, pekerjaan adalah tesis,anti
tesis dan sintesis. Tesis itu adalah setiap yang ada dan yang mungkin ada. Kalau
dirimu adalah tesis tesis maka diriku adalah anti tesis. Antara dirimu dan
diriku itulah sintesis. Antara baik dan buruk selalu ada penjelasannya, maka belajar
berfilsafat adalah belajar menjelaskan. Filsafat itu adalah penjelasan itu
sendiri, maka ketika kita membaca elegi-elegi dan membuat komen-komen, kita membuat
penjelasan dan itu adalah anti tesis serta sintesis-sintesis. Didalam pikiran
berikhtiar melakukan sintesis sesuai dengan ruang dan waktunya yang dibatasi
dengan etik dan estetika di dalam hatinya. Damai di dalam hati dibingkai dengan
doa. Manusia tidak mungkin bisa mencapai damai dan pikiran jernih tanpa pertolongan dari Tuhan. Tiadalah
seseorang yang mampu membersihkan hati kita masing-masing kecuali dengan pertolongan-Nya.
Pertanyaan dari Sdr. Mohammad
Munir,S.Pd :
“Apa
itu Teologi Bilangan?”
Teologi bilangan itu eksak . Satu beda
dengan satu, tetapi esa itu adalah Tuhan. Itulah teologi daripada bilangan.
Jika kita sulit menyebut teologi dari bilangan sebut saja yang dimengerti yaitu
Ketuhanan yang Maha Esa. Itulah teologinya bilangan. Social Matematika adalah
hubungan antar orang yaitu apa yang aku pikirkan, apa yang engkau pikirkan di
dalam pikiranmu itu adalah subyektif. Pikiramnu belum tentu sama dengan pikiran
saya. Jika pikiranmu sama dengan pikiran saya itu namanya pikiran yang
obyektif. Ketika kita berpikir secara Matematika benar bahwa 2+3=5. Berarti untuk
2+3=5 pikiranmu sudah mencapai taraf obyektif . hal ini berarti subyektif = obyektif
karena samadengan orang yang lain pula. Maka supaya kita mengerti apakah
pikiran subyektif benar atau tidak kita perlu bicara, menulis, menjawab ujian,
serta perlu yang namanya kegiatan publikasi. Hakikat belajar matematiaka, agar
menjadi pengetahuan obyektif maka dipublikasikan supaya dikoreksi. Setelah dikoreksi
dikembalikan dan kembali direfisi oleh pengetahuan subyekmu. Itulah hakikatnya
belajar yaitu memperbaiki pengetahuan subyektif dengan cara mengadakan yang ada
dan yang mungkin ada. Yang mungkin ada disini adalah saran atau kritik dari pemeriksa
bisa guru ataupun dosen. Sebab sebelumnya kita belum mengerti jika guru atau
dosen tidak memberikan penilaian. Belum
mengerti maksudnya masih yang mungkin ada. Sosialnya matematika, sosialnya
bilangan.
Pertanyaan dari Sdr. Taufik
Albar, S.Pd :
“Bagaimana
bertanya yang baik tentang filsafat”.
Bertanya yang tepat bukan massalah baik
dan tidak baik. Masalah baik dan tidaknya dalam filsafat adalah etik dan
estetika. Etik dan estetika terikat oleh ruang dan waktu. Bertanya harus sesuai
dengan ruang dan waktunya. Jadi kalau tidak sesuai dengan ruang dan waktu
namanya pertanyaan yang buruk. Belajar filsafat adalah supaya kita bisa
bersikap sesuai ruang dan waktunya sopan dan santun terhadap ruang dan waktu karena sebenar-benar ilmu
adalah sopan dan santun terhadap ruang dan waktu. Bagaimana engkau bisa sopan
dan santun kepada pendidikan Matematika kalau engkau tidak mengerti pendidikan matematika. Jika kita bisa
berbicara tentang Matematika tetapi tidak mengerti berarti kita tidak mengerti
terhadap ruang dan waktu. Maka syarat untuk mengerti ruang dan waktu adalah
berusaha mengetahui yang ada dan yang mungkin ada
Pertanyaan Sdri. Welli Meinarni,
S.Pd
“Yang
tidak ada di dunia ini ada atau tidak ada?”
Imannuel Kant mengatakan jikalau engkau
ingin mengetahui dunia maka tengoklah pada pikiranmu. Dunia itu persis seperti
yang kita pikirkan. Jadi dunia itu isomorpis dengan pikiran kita. Pikiran kita dengan pikiran
yang lain juga isomorpis. Yang ada dan yang mungkin ada di dalam pikiran kita tak
terbatas. Begitu banyak apa yang tidak ada di dalam pikiran kita, yang tidak
dapat kita pikirkan. Yang tidak ada di
dalam pikiran kita tersebut semuanya meliputi yang ada dan yang mungkin ada.
Demikian
refleksi ini saya buat, mohon maaf apabila ada kesalahan. Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan berfilsafat bagi
kita semua.
Maria Rosadalima Wasida,
S.Pd
14709251035
Universitas Negeri
Yogyakarta