Rabu, 29 Oktober 2014

Perkuliahan ke-6 mata Kuliah Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. pada kamis, 23 Oktober 2014

PERTANYAAN DAN JAWABAN TENTANG FILSAFAT 
BAGIAN II

Lima pertanyaan tentang Filsafat berikut ini ditanyakan oleh saya , Maria Rosadalima Wasida, S.Pd  dan dijawab oleh teman saya, Sdri. Siti Rahmalia Natsir,S.Pd


Pertanyaan ke-1:
Apakah hubungan antara filsafat dengan keraguan?

Jawaban teman:
Salah satu penyebab lahirnya filsafat adalah keraguan. Untuk menghilangkan keraguan diperlukan kejelasan. Berfilsafat merupakan suatu perjuangan untuk mendapatkan kejelasan pengertian dan kejelasan seluruh realitas dari keraguan mengenai suatu hal. Jadi jelas bahwa hubungan antara filsafat dengan keraguan yaitu dari timbulnya keraguan munculah rasa keingintahuan untuk memperoleh kejelasan. Perjuangan memperoleh kejelasan itulah berfilsafat. Dan pada akhirnya filsafat menjawab keraguan itu.


Pertanyaan ke-2:
Bagaimanakah seseorang bisa berpikir secara rasional dalam berfilsafat?

Jawaban teman:
Berpikir secara rasional adalah berpikir sistematis, logis dan kritis. Berpikir sistematis, logis dan kritis adalah ciri bepikir rasional. Berpikir rasional ini merupakan salah satu sifat dasar filsafat. Artinya seseorang berpikir rasional dalam berfilsafat yaitu bukan hanya sekedar menggapai pengertian-pengertian yang dapat diterima oleh akal sehat , melainkan agar sanggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar dari premis-premis yang ada. Pemikiran yang ada saling berhubungan satu sama lain dan saling berkaitan. Tanpa berpikir logis, sistematis dan koheren  tidak akan mungkin diraih kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Semua itu dapat dicapai ketika hati dan pemikiran sejalan sehingga ketika seseorang berfilsafat dalam hidupnya akan selalu berada dijalan yang benar.


Pertanyaan ke-3:
Seperti apa peran filsafat ketika manusia mengalami pengaruh yang kurang baik dalam perkembangan IPTEK?

Jawaban teman:
Perkembangan IPTEK memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan. Perkembangan IPTEK membawa dampak positif dan dampak negatif. Kalau saya boleh berpendapat, perkembangan IPTEK sebenarnya memberikan pengaruh yang positif bagi kehidupan manusia untuk menjawab tantangan masa depan. Memanfaatkan ilmu yang baru dengan hal yang positif itu sangat membantu. Tetapi kita tidak boleh juga mengacuhkan “dampak negatif”. Bagi saya bukan IPTEKnya yang membawa pengaruh negative, melainkan manusianya yang tidak menggunakan pada ruang dan waktunya.
Berfilsafat bagi saya bisa mengetahui yang ada dan mungkin ada. Filsafat ilmu mempelajari segala bidang. Ada filsafat etika dan estetika, filsafat hidup, filsafat akal, filsafat agama. Kalau kita mengetahui filsafat-filsafat tersebut dengan menggunakan pada ruang dan waktunya maka pengaruh yang kurang baik dalam perkembangan IPTEK tidak perlu dicemaskan, karena kita mengetahui apa makna dan tujuan hidup kita.


Pertanyaan ke-4:
Menurut pendapat anda apakah filsafat juga berperan dalam pengambilan keputusan? Bagaimana kedudukan filsafat dalam pengambilan keputusan tersebut?

Jawaban teman:
Pengambilan keputusan berkaitan dengan berpikir rasional. Filsafat yang kita bangun pada diri kita sendiri secara otomatis akan mempengaruhi setiap pengambilan keputusan. Berfilsafat yakni berusaha memahami sesuatu, jadi ketika kita dihadapakan pada hal-hal yang rumit maka dengan kita memahami, kita bisa menentukan pilihan.


Pertanyaan ke-5:
Dalam filsafat seperti apakah dan bagaimanakah kedudukan iman dalam hidup?

Jawaban teman:
Dalam bahasa Indonesia kata Iman biasanya diartikan dengan kepercayaan atau keyakinan dilihat dari pengertian istilah, Iman itu paling tidak mengharuskan adanya pembenaran keyakinan akan adanya Tuhan dengan segala keesaan-Nya dan segala sifat kesempurnaan-Nya serta pembenaran dan keyakinan terhadap Muhammad Rasulullah dan risalah kerasulan yang ia bawa. Iman dalam Dienul Islam menempati posisi amat penting dan strategis sekali. Karena iman adalah asas dan dasar bagi seluruh amal perbuatan manusia. Tanpa iman tidaklah sah dan diterima amal perbuatannya.

Demikian jawaban teman saya terhadap pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Jika ada kesalahan saya mohon maaf. Terima kasih.



Maria Rosadalima Wasida, S.Pd
14709251038
Program Pascasarjana Pendidikan Matematika
Universitas Negeri Yogyakarta


Perkuliahan ke-6 Mata Kuliah Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. pada Kamis, 23 Oktober 2014

PERTANYAAN DAN JAWABAN TENTANG FILSAFAT 
BAGIAN I

Lima pertanyaan tentang Filsafat berikut ini ditanyakan oleh teman saya  Sdri. Siti Rahmalia Natsir,S.Pd dan  dijawab oleh saya, Maria Rosadalima Wasida, S.Pd.


Pertanyaan ke-1:
“Bagaimana kedudukan manusia dalam filsafat?”

Jawaban saya:
Filsafat dapat diartikan sebagai bagian dari pikiran-pikiran manusia tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan segala yang ada dan yang mungkin ada. Menurut saya kedudukan manusia dalam filsafat terkait dengan hubungan antara pemikiran manusia dengan filsafat itu sendiri. Tanpa ada hubungan dengan filsafat, manusia tidak dapat menentukan seperti apa dan bagaimana kedudukannya. Hubungan antara manusia dengan filsafat tersebut dapat ditemukan dari, oleh dan untuk dirinya sendiri dalam setiap pemikirannya. Jadi, kedudukan manusisa dalam filsafat itu muncul ketika manusia mampu menghubungkan atau memberi hubungan berupa pikirannya sendiri dalam berfilsafat. Pemikiran manusia dalam berfilsafat dapat digunakan sebagai referensi, refleksi ataupun untuk hal-hal yang bernilai positif lainnya.


Pertanyaan ke-2:
“Manusia di dalam kehidupannya terkadang hanya ingin menggapai kesenangan. Apakah bisa dikatakan bahwa apapun yang dilakukan manusia tujuan akhir adalah menggapai kesenangan? Bagaimana filsafat memandang hal itu?”

Jawaban saya:
Dalam filsafat dijelaskan paparan Aristippos bahwa “manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi”. Pandangan tentang 'kesenangan' (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain bernama Epikuros . Menurutnya, “tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah” (http://id.wikipedia.org/wiki/Hedonisme). 
Menurut pendapat saya tujuan akhir dari apa yang dilakukan manusia adalah untuk menggapai kesenangan sebab kesenangan dapat memberi kepuasan tersendiri bagi manusia. Tak ada satupun manusia di dunia ini yang tidak menginginkan kesenangan selama kesenangan tersebut diartikan sebagai sesuatu yang memberikan manfaat yang baik bagi kehidupan. Kesenangan diinginkan manusia untuk memenuhi kepuasan lahir dan batin. Kepuasan lahir misalnya kesenangan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan kepuasan batin misalnya kesenangan yang timbul dari perasaan tulus dan ikhlas manusia untuk saling mencintai dan dicintai. Namun, kesenangan pun memiliki batasan artinya kesenangan janganlah menjadi upaya manusia untuk mencapai kepuasan yang bernilai negatif. Kesenangan untuk menggapai kepuasan yang negatif ini tentunya kurang bermanfaat dan dapat merugikan manusia dan sebaiknya dihindari.


Pertanyaan ke-3:
“Bagaimana filsafat menjelaskan mengenai jati diri seorang manusia?”

Jawaban saya:
Jati diri seorang manusia dalam filsafat berkaitan dengan kebebasan manusia untuk menjadi dirinya sendiri tanpa paksaan atau terikat oleh orang lain. Untuk menjadi dirinya sendiri, manusia hendaknya tidak munafik atau berpura-pura sehingga dengan menjadi dirinya sendiri, manusia dapat menemukan jati dirinya.  Selain itu, manusia juga harus menjalin relasi dengan sesamanya sehingga dapat belajar dari pengalaman orang lain. Jadi, dalam berfilsafat jati diri itu lahir ketika sesorang mampu menjadi dirinya sendiri dan dapat berhubungan dengan sesama untuk menyelaraskan jati dirinya.


Pertanyaan ke-4:
“Mengapa kita harus membangun filsafat sendiri?”

Jawaban dari saya:
Definisi filsafat menurut Harol H. Titus adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap kritis yang dijunjung tinggi. Ini merupakan sikap terbuka, toleransi dan bersedia meninjau segala sudut masalah tanpa prasangka. Berdasarkan definisi ini saya berpendapat bahwa kita harus membangun filsafat kita sendiri karena sebenarnya filsafat merupakan pemikiran kita akan segala sesuatu. Dengan membangun filsafat sendiri kita dilatih untuk menumbuhkan kepercayaan akan sesuatu dan mampu berpikir kritis, mencari tahu segala sesuatu dan dapat merefleksikannya sehingga berguna bagi diri kita dan orang lain.


Pertanyaan ke-5:
Kata hati manusia atau suara batin manusia. Bagaimana penjelasan dua hal tersebut? Dan bagaimana kita yakin bahwa itu adalah kata hati kita?

Jawaban dari saya:
Penjelasan tentang kata hati dan suara batin manusia saya ambil dari buku berjudul Filsafat Manusia karangan Dr. H. Burhanuddin (hal. 113) yang menjelaskan bahwa “Kita sebutkan sebagai kata hati atau suara batin karena tak terucapkan, hanya dalam hati atau batin saja, tidak terlihat atau kedengaran”. Jadi, menurut saya kata hati atau suara batin itu hanya bisa dirasakan oleh manusia saja tanpa bisa diucapkan, dilihat dan didengar. Kata hati atau suara batin manusia berkaitan dengan kesadaran manusia dalam mengambil tindakan untuk menentukan setiap keputusan. Hal ini berarti, dalam setiap keputusan yang dibuat, manusia memperoleh pengalaman dalam hidup dan mengerti akan arti diri sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa kita akan yakin bahwa itu merupakan kata hati kita ketika kita mampu berpikir secara jernih, bersikap ikhlas dan dengan penuh kesadaran diri kita mengambil keputusan yang paling tepat serta yang paling utama dan terutama adalah senantiasa berserah pada kehendak Tuhan yang Maha Esa dengan memohon petunjuk-Nya.

Demikian jawaban saya terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh teman saya. Jika ada kesalahan saya mohon maaf. Terima kasih.



Maria Rosadalima Wasida, S.Pd
14709251038
Program Pascasarjana Pendidikan Matematika
Universitas Negeri Yogyakarta


Rabu, 22 Oktober 2014

Inspirasi Refleksi dari Perkuliahan ke-5 Mata Kuliah Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. pada Kamis, 16 Oktober 2014

ETIK DAN ESTETIKA DARI PIKIRAN DAN HATI

Refleksi ini terinspirasi dari Perkuliahan Filsafat Ilmu oleh Bapak Marsigit berupa jawaban-jawaban dari pertanyaan yang disampaikan oleh mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Matematika kelas B. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan beserta refleksi dari setiap jawaban yang diberikan :


Pertanyaan dari Sdr. Aminullah, S.Pd :
“Apakah semua hal yang kita pikirkan atau kita alami harus mampu direfleksikan?”
Suatu sifat itu berdimensi meliputi yang ada dan yang mungkin ada dan ketika diintensifkan ataupun diekstensifkan kita tidak dapat menjelaskan seberapa jauh sifat itu sehingga sifat tersebut dikatakan meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Apalah daya pikiran kita untuk mengungkapkan semua, itulah yang  kemudian diakui oleh Socrates bahwa “ternyata pada akhirnya aku tidak mengerti apapun”. Tidak semua hal ataupun sifat yang kita pikirkan bisa kita refleksikan, Direfleksikan kepada siapa dan dimana, direfleksikan kepada yang ada dan yang mungkin ada. Hubungan dunia yang satu dengan dunia yang lain adalah hubungan yang ada dengan yang mungkin ada. Semua yang kita pikirkan boleh kita refleksikan tetapi harus melihat ruang dan waktunya. Dengan demikian tidak semua hal yang kita pikirkan bisa direfleksikan karena di batasi oleh ruang dan waktu. Ruang dan waktunya adalah etik dan estetika. Itulah berfilsafat supaya kita peduli kepada ruang dan waktu, sopan dan santun terhadap  ruang dan waktu.

Pertanyaan dari Sdr. Daud, S.Pd :
“Kenapa tingkat teratas itu adalah hati dan apakah batasan dari hati kita?”
Kita boleh memilih apa yang hendak kita letakkan di tingkat paling atas. Sebagai contohnya kita memilih yang paling atas adalah wanita cantik. Hal ini berarti apa yang kita pikirkan dan lakukan semata-mata hanya untuk wanita cantik. Sama halnya dengan hati, hati ditempatkan yang paling atas karena hati merupakan etik dan estetika dari spiritualitas. Konsep spiritualitas di Indonesia ditaruh yang paling atas, termuat dalam pancasila sila pertama “Ke-Tuhanan yang Maha Esa”. Kehidupan dunia sekarang ini ternyata bukan spiritualitas yang paling tinggi. Karena bukan spiritualitas  maka tren internasional keberadaannya bukan dalam rangka spiritualitas lagi. Itulah sebabnya mau tidak mau kita harus konsisten dengan budaya kita, dengan kehidupan kita untuk menempatkan hati di tingkat yang paling atas.

Pertanyaan Sdri. Tesi Kumalasari:
“Filsafat ditulis dalam keadaan jernih. Saat pikiran dan hati kita kacau apakah kita boleh berfilsafat?”
Ketika pikiran kita mulai kacau berhentilah untuk berpikir, berdoa dan berzikirlah mohon ampun dan mohon petunjuk-Nya. Kalau sudah tenang berpikirlah kembali. Kacaunya pikiran adalah awal dari ilmu. Tetapi jangan biarkan hati kita kacau, karena kacaunya hati adalah godaan setan. Kekacauan pikiran kita perlu disyukuri katena itu pertanda kita sedang berpikir. Tapi jangan jadikan kacaunya pikiran kita turut menjadikan hati kita kacau. Artikel Bapak Marsigit yang berjudul ‘elegi hanya doakulah yang tersisa’ menceritakan bagaimana orang tua berambut putih mengatasi kekacauan pikiran. Ada dua macam cara mengatasi kekacauan pikiran yaitu: yang pertama intensifkan dan ekstensifkan kerja pikiran anda dan yang kedua jangan gunakan lagi pikiran anda,tetapi gunakanlah hati. Jadi kita perlu bersyukur karena setiap saat kita mendapatkan wahyu, mendapatkan ilmu kalau kita berkendak. Semuanya tergantung pada diri kita disaat kita membaca elegi-elegi dan membuat komen. Itu sebenarnya merupakan proses agar kita bisa mendapatkan wahyu itu. Engkau adalah dewanya sifatmu, engkau boleh melakukan apapun terhadap bajumu, celananmu, jilbabmu dan lain sebagainya. Maka subyek adalah dewanya predikat. Subyek adalah dewanya para sifat. Dirimu yang sekarang adalah dewanya dari dirimu yang tadi. Dan dirimu yang nanti adalah dewanya dari dirimu yang sekarang.

Pertanyaan dari Sdri. Nunung Megawati, S.Pd :
“Bagaimana untuk menggapai pikiran dan hati yang bersih?”
Ada dua hal dalam menggapai pikiran dan hati yang bersih yaitu: yang pertama, sesuai dengan kodrat dan takdirnya; yang kedua, mengetahui prinsip-prinsipnya atau teorinya. Prinsip yang dibuat adalah sehebat-hebat pikiranmu janganlah engkau merasa hebat terhadap hatimu. Salah satu contohnya adalah kepercayaan kita kepada Tuhan. Hal ini dikarenakan untuk mengerti Tuhan tidak semata-mata menggunakan pikiran tetapi kita harus menggunakan hati.  Ilmu dalam pikiranmu itu urusan dunia  tetapi sudah masuk ke dalam yang ahkirat maka ada yang namanya ilmu  di dalam hatimu. Sedangkan untuk pikiran, pekerjaan adalah tesis,anti tesis dan sintesis. Tesis itu adalah setiap yang ada dan yang mungkin ada. Kalau dirimu adalah tesis tesis maka diriku adalah anti tesis. Antara dirimu dan diriku itulah sintesis. Antara baik dan buruk selalu ada penjelasannya, maka belajar berfilsafat adalah belajar menjelaskan. Filsafat itu adalah penjelasan itu sendiri, maka ketika kita membaca elegi-elegi dan membuat komen-komen, kita membuat penjelasan dan itu adalah anti tesis serta sintesis-sintesis. Didalam pikiran berikhtiar melakukan sintesis sesuai dengan ruang dan waktunya yang dibatasi dengan etik dan estetika di dalam hatinya. Damai di dalam hati dibingkai dengan doa. Manusia tidak mungkin bisa mencapai damai dan pikiran  jernih tanpa pertolongan dari Tuhan. Tiadalah seseorang yang mampu membersihkan hati kita masing-masing kecuali  dengan pertolongan-Nya.

Pertanyaan dari Sdr. Mohammad Munir,S.Pd :
“Apa itu Teologi Bilangan?”
Teologi bilangan itu eksak . Satu beda dengan satu, tetapi esa itu adalah Tuhan. Itulah teologi daripada bilangan. Jika kita sulit menyebut teologi dari bilangan sebut saja yang dimengerti yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Itulah teologinya bilangan. Social Matematika adalah hubungan antar orang yaitu apa yang aku pikirkan, apa yang engkau pikirkan di dalam pikiranmu itu adalah subyektif. Pikiramnu belum tentu sama dengan pikiran saya. Jika pikiranmu sama dengan pikiran saya itu namanya pikiran yang obyektif. Ketika kita berpikir secara Matematika benar bahwa 2+3=5. Berarti untuk 2+3=5 pikiranmu sudah mencapai taraf obyektif . hal ini berarti subyektif = obyektif karena samadengan orang yang lain pula. Maka supaya kita mengerti apakah pikiran subyektif benar atau tidak kita perlu bicara, menulis, menjawab ujian, serta perlu yang namanya kegiatan publikasi. Hakikat belajar matematiaka, agar menjadi pengetahuan obyektif maka dipublikasikan supaya dikoreksi. Setelah dikoreksi dikembalikan dan kembali direfisi oleh pengetahuan subyekmu. Itulah hakikatnya belajar yaitu memperbaiki pengetahuan subyektif dengan cara mengadakan yang ada dan yang mungkin ada. Yang mungkin ada disini adalah saran atau kritik dari pemeriksa bisa guru ataupun dosen. Sebab sebelumnya kita belum mengerti jika guru atau dosen tidak memberikan  penilaian. Belum mengerti maksudnya masih yang mungkin ada. Sosialnya matematika, sosialnya bilangan.

Pertanyaan dari Sdr. Taufik Albar, S.Pd :
“Bagaimana bertanya yang baik tentang filsafat”.
Bertanya yang tepat bukan massalah baik dan tidak baik. Masalah baik dan tidaknya dalam filsafat adalah etik dan estetika. Etik dan estetika terikat oleh ruang dan waktu. Bertanya harus sesuai dengan ruang dan waktunya. Jadi kalau tidak sesuai dengan ruang dan waktu namanya pertanyaan yang buruk. Belajar filsafat adalah supaya kita bisa bersikap sesuai ruang dan waktunya sopan dan santun terhadap  ruang dan waktu karena sebenar-benar ilmu adalah sopan dan santun terhadap ruang dan waktu. Bagaimana engkau bisa sopan dan santun kepada pendidikan Matematika kalau engkau tidak  mengerti pendidikan matematika. Jika kita bisa berbicara tentang Matematika tetapi tidak mengerti berarti kita tidak mengerti terhadap ruang dan waktu. Maka syarat untuk mengerti ruang dan waktu adalah berusaha mengetahui yang ada dan yang mungkin ada

Pertanyaan Sdri. Welli Meinarni, S.Pd
“Yang tidak ada di dunia ini ada atau tidak ada?”
Imannuel Kant mengatakan jikalau engkau ingin mengetahui dunia maka tengoklah pada pikiranmu. Dunia itu persis seperti yang kita pikirkan. Jadi dunia itu isomorpis dengan  pikiran kita. Pikiran kita dengan pikiran yang lain juga isomorpis. Yang ada dan yang mungkin ada di dalam pikiran kita tak terbatas. Begitu banyak apa yang tidak ada di dalam pikiran kita, yang tidak dapat kita pikirkan. Yang tidak ada  di dalam pikiran kita tersebut semuanya meliputi yang ada dan yang mungkin ada.

Demikian refleksi ini saya buat, mohon maaf apabila ada kesalahan. Semoga bermanfaat  dan dapat menambah wawasan berfilsafat bagi kita semua.


Maria Rosadalima Wasida, S.Pd
14709251035
Universitas Negeri Yogyakarta


Rabu, 15 Oktober 2014

Refleksi dari Perkuliahan ke-4 Mata Kuliah Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. , Kamis 9 Oktober 2014

PERKEMBANGAN, ALIRAN DAN CABANG  DARI  FILSAFAT ILMU

Obyek dari filsafat ilmu adalah yang ada dan yang mungkin ada. Yang ada itu bisa satu, dua atau banyak. Jika yang ada itu adalah satu maka menghasilkan filsafat monolism. Jika yang ada itu dua, maka menghasilkan filsafat dualism. Jika yang ada itu banyak, maka menghasilkan filsafat pluralism. Yang ada dan yang mungkin ada mempunyai sifat-sifat tak berhingga. Sifat-sifat yang tak berhingga itu misalnya sifat yang tetap atau berubah. Jika yang ada itu tetap, maka menghasilkan filsafat permenidesianism. Jika yang ada itu berubah, maka menghasilkan heraklitosianism. Filsafat itu mengalir dalam kehidupan sehari-hari dalam lautan ide atau gagasan kontemporer yang mempengaruhi kehidupan. Belajar filsafat diibaratkan dengan seekor ikan yang ingin menjadi cerdas. Ikan tersebut ingin mengetahui segala macam air itu jenisnya apa dan dari mana datangnya. Hal ini dilakukan demi kesejahteraan diri. Ikan tahu bahwa laut itu adalah air yang bermuara dari gunung. Gunung dalam filsafat adalah gunungnya para filsuf. Yang terjadi di dalam dunia kontemporer adalah yang terjadi di dalam keseharian hidup kita yaitu di dalam pikiran kita masing-masing. Jadi, jika ingin mengetahui dunia, maka tengoklah ke dalam pikiran kita masing-masing sebab kita akan mengerti dunia ketika kita sedang menyadarinya.
Di manakah yang tetap atau yang berubah itu berada? Dalam filsafat yang tetap lebih banyak berada di dalam pikiran, sedangkan yang berubah lebih banyak berada di luar pikiran. Yang di dalam pikiran melahirkan filsafat idealism dengan tokohnya adalah Plato sehingga dinamakan Platonism. Bila di luar pikiran melahirkan filsafat realism dengan tokohnya Aristoteles. Semua yang serba tetap itu tidak berubah, misalnya sekali batu tetap menjadi batu tidak akan berubah; sekali manusia tetap manusia tidak akan berubah. Yang berubah ialah tiadalah di dunia ini mengalami yang tetap, semuanya mengalami perubahan. Misalnya,  sesuai dengan hukumnya aku tidak bisa menyebut diriku adalah dirinya, tetapi tetap karena aku sama dengan aku (hukum identitas). Hal ini dapat terjadi hanya dalam pikiran, sebab begitu ditulis “aku = aku”, maka aku sama dengan aku bisa menjadi salah karena ada dua aku di sini yaitu aku yang sebelah kiri dan aku yang sebelah kanan. Karena aku tidak dapat menyebut diriku sama dengan aku “aku  aku”, maka sebenar-benar hidup di dunia ini bersifat kontradiksi. Dapat disimpulkan bahwa di dalam filsafat ada dua hukum yaitu hukum identitas dan hukum kontradiksi.
Di dalam filsafat yang tetap bersifat analitik dan yang berubah bersifat sintetik. Analitik hukumnya adalah identitas atau tautologi, artinya hanya mencari sesuatu yang ekuivalen /sama dan terikat dengan ruang dan waktu. Sedangkan sintetik hukumnya adalah kontradiksi, artinya sesuatu yang tidak sama dan terbebas dari ruang dan waktu. Analitik bersifat apriori, sedangkan sintetik bersifat aposteriori. Yang ideal di dalam filsafat berkaitan dengan sesuatu yang berada di dalam pikiran yaitu yang tetap, yang analitik, yang apriori, yang tautologi. Semua mempunyai dunianya masing-masing. Jadi, selama di dalam pikiran menggunakan rasio maka muncullah rasionalism dengan tokohnya adalah Rene Decrates. Rasionalism itu sejalan dengan banyak ide. Sedangkan yang realis di dalam filsafat berkaitan dengan sesuatu yang berada di luar pikiran yaitu pengalaman sehingga muncullah empirism dengan tokohnya adalah David Hume. Analitik itu apriori, sedangkan sintetik itu aposteriori artinya yang tetap itu analitik bersifat konsisten, karena konsisten maka muncullah filsafat yang dinamakan koherentism. Sedangkan yang berubah itu sintetik bersifat koresponden maka muncullah filsafat korespondentism. Dari kedua paham apriori dan aposteriori muncullah paham yang bersifat netral dengan tokohnya adalah Imanuel Kant. Imanuel Kant mengatakan bahwa Rene Decrates terlalu mendewa-dewakan rasio, sedangkan David Hume terlalu mendewa-dewakan pengalaman tetapi meremehkan rasio. Dari kejadian ini Rene Decrates menyatakan bahwa ilmu itu analitik apriori artinya bisa dibayangkan walaupun belum mengalaminya. Lawannya adalah sintetik aposteriori yang harus menggunakan pengalaman. Dalam filsafat terdapat pula analitik aposteriori dan sintetik apriori yang mempelajari mana yang mungkin dan mana yang tidak mungkin. Analitik aposteriori itu beda hakikat, jika analitik itu identitas maka konsisten sehingga bisa dipikirkan walupun belum diketahui. Dengan demikian analitik aposteriori tidak bisa berjalan. Sedangkan sintetik apriori, sintetik berarti peristiwa yang satu ke peristiwa yang berikutnya, apriori berarti dipikirkan. Jadi, menurut Imannuel Kant ilmu itu adalah sintetik apriori; dipikirkan dari peristiwa yang satu ke peristiwa berikutnya dan merupakan solusi terkenal dari Imannuel Kant. Namun mengapa sintetik itu bersifat kontradiksi? Karena sintetik berasal dari pengalaman dan dari interaksi pengalaman yang satu ke pengalaman berikutnya diperolehlah pengetahuan yang dinamakan pengetahuan intuitif sehingga lahir paham intuisionism. Karena intuisi berdasarkan pengalaman maka terbentuklah kategori, sehingga lahirlah filsafat kategoritism. Kategori adalah cikal bakal dari logika. Jadi, logika itu ada kaitannya dengan pengalaman sehingga bisa dicari pengalaman berikutnya, kemudian berlogika lagi secara berulang-ulang kali sehingga lahirlah filsafat hermenetism. Logika juga bersifat formal sehingga menghasilkan formalism.
Di dalam dunia kontemporer secara sosiologis disebut dengan archaic (manusia batu), tradisional, feodal, modern dan post modern. Bagi kaum Archaic yang terpenting adalah makan dan membuat keturunan, masih telanjang dan belum bisa berubah. Sedangkan kaum tribal hanya mementingkan kehidupan untuk masa sekarang saja. Selanjutnya adalah tradisional yang belum mengenal computer, handphone dan lain sebagainya atau sudah mengenalnya tetapi tidak mengikuti perkembangan zaman. Selanjutnya jika tradisional dikuasai dengan motif maka munculah yang dinamakan dengan feodal atau kerajaan. Feodal ini mempunyai teknologi yang menguasai orang, masyarakat dan bangsa, sehingga muncul paham feodalism. Setelah feodal, muncullah masyarakat modern. Di dalam filsafat modern itu mendahului Decrates, sehingga terdapat area gelap dominasi gereja. Area gelap ini yaitu tidak boleh seseorang mengklaim kebenaran kecuali atas restu gereja. Yang dianggap fatal adalah pendapat yang mengatakan bahwa bumi adalah pusat dari tata surya atau teori geosentrislism. Menanggapi teori ini muncullah Copernicus yang mempunyai pendapat yang bertolak belakang dengan dominasi gereja. Copernicus mengemukakan bahwa pusat dari tata surya adalah matahari atau yang dikenal dengan teori heleosentrism. Setelah masyarakat modern, muncul juga masyarakat post modern. Jadi, kontemporer itu sama dengan masyarakat postmodern atau powernow yang berarti masyarakat yang paling berkuasa. Jadi, dalam berfilsafat orang yang paling seksi itu adalah orang yang paling berkuasa. Jadikanlah dirimu masing-masing berkuasa  akan dirimu sendiri, sebab kuasa itu meliputi yang ada dan yang mungkin ada, ekstensif dan intensif. Inilah cabang-cabang dari ilmu filsafat.

Semoga refleksi ini bermanfaat ini bermanfaat bagi kita dalam memahami perkembangan, aliran dan cabang-cabang dalam filsafat ilmu.


Maria Rosadalima Wasida, S.Pd
14709251038
Pendidikan Matematika B
UNY


Rabu, 08 Oktober 2014

Inspirasi dari Perkuliahan ke-3 Mata Kuliah Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A.(Kamis, 2 Oktober 2014)

Keikhlasan Membuat Kita
Senantiasa Bersyukur

Refleksi ini terinspirasi dari pertanyaan-pertanyaan tes ke-2 kelas Pendidikan Matematika B dan jawaban Bapak Marsigit atas pertanyaan yang ditanyakan oleh Sdr. Agustiana Dwi Nurcahyani,S.Pd yaitu:
“Apakah disaat kita berhasil mengerjakan  suatu  tes, hasil dari tes tersebut merupakan parameter bahwa kita telah memahami materi dalam tes tersebut?”

          Tes jawab singkat yang kedua di kelas Pendidikan Matematika B, memberikan hasil yang tidak memuaskan. Dari 51 soal yang sangat dalam dan sangat luas sebagian besar mahasiswa tidak mampu menjawab soal-soal tersebut dengan benar, sehingga masih banyak yang memperoleh nilai nol. Beberapa contoh pertanyaan dalam tes jawab singkat yaitu: Siapakah diriku? Apa formalnya batu? Apa normatifnya batu? Apa formalnya kata-kata? Apa materialnya spiritual? Apa formalnya spiritual? Apa normatifnya spiritual? dan sebagainya. Dalam waktu yang singkat mahasiswa harus menjawab semua pertanyaan tersebut. Secara psikologi kita akan kesulitan mengejar apa yang ditanyakan. Ketika pertanyaan tersebut dilontarkan, secara pribadi jawaban dari pertanyaan tersebut sudah pernah dibaca dalam elegi-elegi, namun entah mengapa serasa sulit untuk memikirkan kembali jawabannya. Jadi, dapat dikatakan bahwa tes jawab singkat yang diberikan tidak secara langsung berhubungan dengan kemampuan berfilsafat yang tertuang di dalam elegi. Hal ini berarti tidak semua mahasiswa yang sudah membaca elegi-elegi mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan benar, tetapi secara tidak langsung berkontribusi.   
          Tes jawab singkat yang diberikan pada setiap pertemuan berfungsi sebagai silahturahim dan pemicu pemahaman mahasiswa. Sebagai silahturahim berarti secara tidak langsung kita akan mengenal seperti apa dan bagaimana cara berfilsafat. Filsafat dimulai dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan, kemudian membuat penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sebagai pemicu pemahaman berarti dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kita mempunyai kesadaran untuk membaca filsafat yang tertuang dalam elegi-elegi. Keberhasilan ataupun kegagalan kita dalam tes tidak semata-mata menjadi tolak ukur bahwa kita mampu untuk memahami filsafat, tetapi sebagai silahturahim dan pemicu pemahaman kita untuk membaca.
          Keberhasilan kita dalam setiap tes jawab singkat yang diberikan dari pertemuan ke pertemuan akan relatif berkurang. Hal ini dimaksudkan supaya kita tidak sombong dan meluruh dari sikap ego. Dengan demikian kita tidak hanya mengandalkan kemampuan kita dalam setiap tes jawab singkat yang diberikan tetapi memiliki niat dan motivasi untuk mau membaca elegi-elegi. Persoalan kita mengetahui atau tidak mengetahui apa yang dibaca, di mana membaca dan bagaimana membaca, itu adalah urusan kita masing-masing. Mempelajari filsafat tidak seperti mempelajari Matematika. Dalam mempelajari Matematika pada awal tidak dimengerti tetapi setelah dipelajari kita akan mengerti. Berbeda pengertian dengan filsafat, jika sekarang kita merasa paham maka pada akhirnya kita akan merasa tidak mengerti apa-apa. Secara psikologi hal ini dimaksudkan agar tidak ada kesombongna dalam diri kita. Karena untuk mencapai dan mempelajari ilmu apabila diawali dengan kesombongan akan menjadikan kita untuk tidak tahu bersyukur akan apa yang dimiliki. Jadi, keikhlasan kitalah yang dituntut dalam mempelajari apapun. Dari berbagai uraian-uraian tes jawab singkat di atas kita hendaknya bersikap ikhlas untuk berbagai hal yang dialami. Ikhlas menjawab 50 soal yang diberikan dalam waktu singkat. Ikhlas memperoleh nilai nol. Ikhlas untuk tidak berhasil. Ikhlas untuk membaca elegi-elegi. Ikhlas karena ada elegi-elegi yang tidak kita pahami. Ikhlas untuk selalu memicu pemahaman kita.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, kita harus selalu ikhlas mengahadapi situasi dan kondisi sebaik dan seburuk apapun itu. Dengan keikhlasan kita mampu menyadari kelemahan kita dan termotivasi untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Dan jika kita sudah menyadarinya kita hendaknya selalu bersyukur untuk berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan kita. Untung atau rugi, berhasil atau gagal, baik atau buruk, terlaksana atau tidak terlaksana, sakit atau sehat hendaknya menjadikan kita ikhlas menerimanya dan selalu bersyukur untuk semuanya yang dialami. Sebab dengan keikhlasan kita belajar menerima segala yang terjadi dalam kehidupan dan membuat kita untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan yang Maha Esa. Semoga keikhlasan membuat kita senantiasa bersyukur dalam berbagai keadaan yang kita alami.

Maria Rosadalima Wasida,S.Pd
14709251038
Pendidikan Matematika B

Universitas Negeri Yogyakarta

Rabu, 01 Oktober 2014

Refleksi Kuliah Filsafat oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A. Kuliah ke-2 kamis, 25 September 2014

Mulanya, saya beranggapan bahwa filsafat itu sulit karena mempelajari pemikiran-pemikiran yang menurut saya tidak masuk akal dan sulit dipahami. Namun, dengan mengikuti perkuliahan dan membaca elegi-elegi dari Bapak membuka wawasan saya bahwa filsafat itu bukan sesuatu yang sulit untuk dipahami. Saya tertarik dengan penyampaian Bapak pada saat perkulian bahwa filsafat itu tidak lain tidak bukan adalah diri kita sendiri, dengan segala pemikiran yang ada dalam diri kita,kita dapat membangun dan memposisikan diri dalam membangun filsafat kita masing-masing.
Dalam berfilsafat diri saya dan setiap orang yang mempelajari filsafat adalah subyek filsafat, sedangkan segala sesuatu yang akan dilakukan, yang ada dan yang mungkin ada adalah obyek filsafat. Bagaimana cara kita memahami obyek filsafat yang ada dan yang mungkin ada tersebut??? Refleksi dari perkuliahan oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A berikut kiranya dapat membantu pemahaman kita tentang obyek filsafat yang ada dan yang mungkin ada.
MEMAHAMI OBYEK FILSAFAT YANG ADA DAN YANG MUNGKIN ADA
Filsafat yang adalah buah dari pemikiran kita masing-masing tidak terlepas dari apa yang kita pikirkan. Apa yang kita pikirkan dalam filsafat ini mengarahkan kita pada suatu obyek filsafat. Obyek filsafat itu meliputi yang ada dan yang mungkin ada dengan metode yang digunakan yaitu intensif dan ekstensif. Metode intensif berarti dalam sedalam-dalamnya , artinya apa yang dianggap dalam ternyata dapat diperdalam oleh orang lain atau dapat diperdalam oleh diri sendiri pada waktu yang lain. Sedangkan metode ekstensif berarti luas seluas-luasnya, artinya apa yang dianggap luas ternyata dapat diperluas lagi oleh orang lain atau dapat diperluas oleh diri sendiri pada waktu yang lain.
Adapun alat yang digunakan dalam berfilsafat adalah bahasa analog, salah satu contohnya adalah elegi. Kelebihan bahasa analog adalah mampu menembus ruang dan waktu. Kemampuan dalam menembus ruang dan waktu adalah kemampuan hidup kita untuk memahami obyek filsafat yang ada dan yang mungkin ada. Hal ini dikarenakan tidak ada satupun yang ada dan yang mungkin ada tidak menembus ruang dan waktu. Jika salah satu unsur yaitu ruang atau waktu  ditiadakan maka tidak akan ada kehidupan. Contohnya jika pohon ditiadakan dari tanah, maka pohon akan  mati. Jika manusia ditiadakan dari makanan maka manusia akan mati. Metode menggunakan bahasa analog ini tidak hanya sekedar kiasan tetapi lebih tinggi dari kiasan, misalnya kata CINTA. Karena cinta dapat menembus ruang dan waktu, maka cinta untuk manusia itu sendiri adalah cinta yang dapat diberikan dari manusia yang satu untuk manusia yang lainnya dan tidak terbatas pada ruang dan waktu. Jika diekstensikan cinta dapat menembus ruang dan waktu untuk binatang, misalnya ada cinta monyet, cinta kucing, cinta kelinci dan lain-lain. Cinta juga dapat diekstensikan dalam cinta dua buah batu, cinta yang bertasbih dan lain sebagainya. Yang bercinta disini bukanlah binatang ataupun batunya tetapi subyek yang melakukannya.
Obyek filsafat meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Hal ini berarti yang mungkin ada itu ada di dalam pikiran kita masing-masing. Karena ada di dalam pikiran kita masing-masing yang mungkin ada itu bisa ada atau tidak ada. Misalnya dalam memberikan jawaban untuk suatu pertanyaan yang belum kita ketahui jawabannya. Kita belum bisa memastikan jawaban tersebut ada atau tidak. Jadi, dapat diartikan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut sebelum diberitahukan keberadaannya merupakan jawaban ‘yang mungkin ada’. Ketika akan diberitahukan secara lisan ataupun tulisan, jawaban tersebut sekiranya dapat menjadi ‘ada’. Setelah jawaban dari pertanyaan tersebut diberitahu, maka jawaban itu ‘sudah ada’ di dalam pikiran kita masing-masing tanpa kita sadari. Jadi, setelah diberitahukan jawaban tersebut sudah menjadi ada atau sudah kita ketahui. Sehingga dapat disimpulkan bahwa filsafat dan obyek filsafat yang ada dan yang mungkin ada tersebut sudah melekat di dalam diri dan pikiran kita, hanya kita saja yang kurang menyadarinya.
Pada hakikatnya dalam memahami obyek filsafat yang ada dan yang mungkin ada ini, kita hendaknya mampu untuk menerima input atau informasi yang diberikan sehingga apa yang mungkin ada itu bisa menjadi ada dalam pikiran kita. Kita juga hendaknya memperdalam pengetahuan filsafat kita dengan memahami bahasa analog dan kiasan-kiasan yang sering digunakan dalam berfilsafat. Salah satu contohnya adalah elegi. Di dalam bahasa analog dan kiasan-kiasan tersebut tentunya mempunyai makna yang mendalam untuk memahami obyek filsafat yang ada dan yang mungkin ada yang timbul dari kehidupan kita. Semuanya itu bisa diperdalam atau diperluas lagi oleh orang lain ataupun diri kita di waktu yang lain. Namun sebagai manusia yang mempunyai kemampuan yang terbatas, tiadalah alasan untuk tidak mensyukuri yang ada dan yang mungkin ada tersebut. Semua itu adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa yang patut untuk kita syukuri.
Semoga refleksi ini bisa membantu kita dalam memahami obyek filsafat yang ada dan yang mungkin ada. Jika ada kekurangan atau kata-kata yang kurang berkenan dari refleksi ini, saya mohon maaf. Terima kasih.
Maria Rosadalima Wasida
14709251038


PMat B